Blora, kota kecil yang menyimpan sejarah Samin, ‘mungkin’
sering jadi bahan cemoohan. Desa Klopo Duwur yang terletak di Kecamatan
Banjarejo, Blora, Jawa Tengah tempat masyarakat Samin tinggal.
Dalam sebuah kesempatan beberapa pekan yang lalu, penulis
singgah pada komunitas ini, komunitas samin yang enggan di bilang wong Samin
mereka lebih suka disebut “Sedulur Sikep”. Dulu, komunitas wong samin ini
sangat tertutup. Tapi, seiring dengan arus modernitas mereka mulai terbuka
terhadap informasi-informasi yang masuk, TV, radio, tape menghiasi rumah
mereka.
Masyarakat Samin berkembang dan tumbuh di Klopo Duwur adalah
salah satu bentuk perlawanan sikap terhadap pemerintah Belanda. Bahkan,
masyarakat Samin ini enggan membayar pajak pada waktu itu. Dahulu memang
Saminisme sangat tertutup dalam hidupnya. Mereka tidak mudah percaya kepada
orang lain yang dianggap asing. Mereka lebih percaya pada diri sendiri.
bentuk-bentuk perlawanan yang sering diimplementasikan komunitas samin ini
dengan mbangkang (membangkang), nggendeng nyangkak adalah wujud dsri bentuk
perlawanan tanpa kekerasan.
Menurut salah seorang samin yang penulis temui, istilah
Samin berarti ‘tiyang sami-sami amin”, maksudnya kelompok orang yang senasib
dan sepenanggungan. Munculnya nama Samin berasal dari gerakan gerombolan rampok
Saminisme yang dipimpin oleh Surowidjoyo atau Raden Suratmoko.
Raden Surowidjoyo ini anak seorang bupati Suromoto. Ia
merasa prihatin melihat bangsanya dipaksa membayar pajak dengan kekerasan oleh
pemerintah kolonial, sedangkan penarik pajak tersebut tak lain adalah kaum
pribumi yang bekerja pada pemerintah kolonial.
Pajak yang harus dibayar pada para petani cukup tinggi, jika
ia tidak dapat membayar sebagai gantinya para petani itu harus menyerahkan
harta bendanya berupa ternak, makanan pokok, maupun barang keperluan rumah
tangga. melihat perilaku bangsa pribumi yang menjadi antek Belanda, Raden
Surowidjoyo pergi ke Kadipaten dan bergabung dengan gerombolan perampok.
Gerombolan perampok itu bernama Tiyang sami-sami amin.
Orang-orang samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan
‘Wong Samin”, sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu
dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan
menyangkal aturan yang telah ditetapkan, sering keluar masuk penjara, sering
mencuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum islam.
Para pengikut Saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep” atau
“Sedulur Sikep”, artinya orang yang bertanggung jawab, sebutan untuk orang yang
berkonotasi baik dan jujur.
Dari penuturan seorang warga yang penulis temui, ajaran
saminisme mulai pertama kali disebarkan oleh Samin Surosentiko, seorang
pangeran. Nama Samin adalah nama samaran dari Raden Kohar bangsawan, guru
kebatinan yang mempunyai nama samaran Suro Kuncung menurut serat punjer
kawitan. Raden Kohar ini adalah salah satu dari lima bersaudara Raden
Surowidjoyo, sesepuh Samin.
Paham Saminisme dinamakan juga “Agama Nabi Adam”, sebab
ajaran Saminisme yang terwariskan hingga kini sebenarnya mencuatkan nilai-nilai
kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.
Pertama, ojo drengki srei, tukar padu, dahwen kemiren, kutil
jumput, lan mbedog colong. Artinya, jangan berhati jahat, bertengkar, iri hati,
dan mencuri.
Kedua, pangucap budhelane ono pitu, lan pangucap saka sanga
bundhelane ana pitu.
Maksudnya, perkataan dari angka lima ikatannya ada tujuh,
dan perkataan dari angka sembilan ikatannya ada tujuh. Maksud dari simbol itu
agar manusia memelihara mulut dari tutur kata tak berguna dan menyakitkan hati.
Ketiga, lakonana sabar atau jalani hidup dengan sabar.
Orang Samin juga punya acuan figur bernama Puntadewa. Raja
Amarta di dunia pewayangan merupakan tipikal orang sabar, jujur, pantang
berbohong, selalu berkata apa adanya. Tak heran bila hingga saat ini wayang
kulit masih menjadi tontonan favorit dalam komunitas ini.
Dalam hal mata pencaharian misalnya, mereka hanya menggeluti
pekerjaan petani, menggembala sapi atau kambing. Atau sesekali nyambi menjadi
tukang ojek. Pekerjaan berdagang, menurut paham Saminisme sangat dijauhi karena
lebih dekat dengan kebohongan.
Bahkan ada sebuah cerita, saat sesepuh Wong Samin ini
diinterogasi polisi hutan gara-garanya rumah miliknya dibangun dari kayu
curian. Ketika rumah itu akan disita, dia dengan enteng menjawab, “boleh
disita, tapi berikan pada kami”. Petugas pusing juga. Rumah itu akan dirobohkan.
“Boleh, tapi semua rumah harus dirobohkan, termasuk milik Pak Presiden”.
Generasi Samin masa kini telah lama menjalani perilaku wong
sikep (sebutan suku samin) selama ini, yang mengajarkan agar jangan menyakiti
orang lain kalau tidak ingin disakiti, harus saling hormat menghormati sesama
manusia di dunia, dan jangan pernah mengambil apapun yang bukan haknya. Juga,
beberapa ajaran lain yang mengikat masyarakat agar tidak berbuat kejahatan.
San realitanya hingga saat ini, tepo sliro (rasa saling
menghormati) dan tingkat kerukunan masyarakatnya memang tinggi. Mereka biasa
saling membantu dalam keadaan apapun.
Kalaupun ada pencurian dalam komunitas ini, Wong Samin hanya
mengambil kayu jati, itupun hanya sebatas untuk kayu bakar karena nenek moyang
mereka dahulu ikut menanam jati di hutan tersebut. ajaran Samin ada 3 yaitu,
angger-angger pangucap (hukum bicara), angger-angger pratikel (hukum tindak
tanduk), dan angger-angger lakonono (hukum perihal yang perlu dijalankan).
Semetara konsep ajaran Samin yang diikuti pengikut ada 6, diantaranya tidak
bersekolah, tidak memakai peci tetapi memakai iket yaitu semacam kain yang
diikatkan di kepala mirip orang Jawa zaman dahulu, tidak berpoligami, tidak
memakai celana panjang dan hanya memakai celana selutut, tidak berdagang, dan
menolak segala bentuk kapitalisme.
Source : Info Blora
Tidak ada komentar:
Posting Komentar